Selasa, 19 Agustus 2008

berwisata kuliner di Margonda Synchronicity's street

Suatu malam pada akhir Maret, sepasang muda-mudi tampak bersantap di warung mi aceh di kaki lima Jalan Margonda Raya, antara apartemen Margonda Residence dan Rumah Sakit Bunda. Keduanya tampak menikmati santapan panas yang dihidangkan bersama sepiring kecil emping goreng dan acar ketimun.

Mi aceh beda dengan yang lain. Lebih spicy,” kata Cita (21), si pemudi yang mahasiswi Komunikasi Universitas Indonesia (UI). Ia juga mengaku kerap makan bersama teman-teman satu kosnya di warung kaki lima itu.

Mi aceh, yang sering digosipkan dimasak memakai daun ganja sebagai penyedap, hanya salah satu hidangan Nusantara yang dijajakan di sepanjang Jalan Margonda Raya. Di jalan sepanjang sekitar tiga kilometer yang membelah Kota Depok dari utara ke selatan itu berdiri puluhan warung kaki lima, kedai, maupun restoran yang menawarkan hidangan khas dari Sabang sampai Merauke. Ini belum termasuk kafe dan restoran ala Jepang dan Amerika serta puluhan warung tenda lain yang menjajakan hidangan kaki lima standar nasional, macam pecel lele dan sea food.

Sejak memasuki jalan utama Kota Depok itu dari utara, dari arah jalan layang akses UI, beberapa restoran dan kedai makan sudah langsung terlihat. Di sebelah kiri antara lain ada restoran padang dengan wajah berarsitektur rumah gadang. Ini cuma salah satu restoran padang yang meramaikan Jalan Margonda Raya dari ujung ke ujung.

Terus berjalan ke selatan, kian banyak kedai hidangan Nusantara dan varian-variannya. Di sekitar mulut Gang Sawo, jalan pintas menuju Stasiun Kereta Api Depok-UI, misalnya, ada kedai bakso malang dan sebuah kedai pempek palembang.

Setelah itu, ada restoran Kubang, restoran martabak padang yang hak ciptanya konon sudah resmi didaftarkan di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Seperti di sejumlah restoran minang lain, di sana juga bisa disantap soto padang dan sate padang yang sedap.

Di lokasi sama, kurang lebih di seberang Apartemen Margonda Residence, bisa ditemui restoran sunda yang menyiapkan menu macam karedok dan pepes ikan mas. Terpaut beberapa tempat usaha lain, ada pula warung bubur ayam garut yang khas.

Di pertengahan Jalan Margonda Raya, di sekitar pusat perbelanjaan Depok Town Square (Detos) dan Margo City, ada sejumlah kedai dan restoran daerah lain. Misalnya, kedai soto ayam Ambengan yang khas Surabaya dan kedai soto kudus yang bertetangga dengan sebuah restoran gudeg yogya.

>kern 401m<>h 9737m,0<>w 9737m<>kern 251m<>h 9738m,0<>w 9738m<

Beberapa kedai bahkan menawarkan menu daerah yang belum banyak dikenal. Salah satunya restoran Sroto Banyumas yang juga berlokasi tak jauh dari Detos. Sroto banyumas adalah sejenis soto daging atau ayam bening dengan taburan kecambah dan irisan daun bawang. Sroto banyumas yang juga dihidangkan dengan taburan keripik singkong dan sambal kacang ternyata lumayan mak nyuss.

Tujuan wisata kuliner

Sejak tahun 1980-an, Jalan Margonda Raya berkembang menjadi pusat wisata belanja dan kuliner. Kecuali sejumlah pusat perbelanjaan besar yang tak kalah dari yang ada di Jakarta, di sepanjang jalan raya itu juga bertumbuhan berbagai restoran yang berlomba memenuhi segala macam selera.

Pertumbuhan ini dipicu oleh kepindahan Kampus UI dan beberapa perguruan tinggi lain dari Jakarta ke Depok dan sekitarnya sejak awal dekade itu. Mahasiswa UI saja kini jumlahnya 38.000 orang. Mereka menghuni asrama mahasiswa, apartemen, dan ratusan rumah kos yang sebagian besar tersebar di jalan-jalan kecil di kedua sisi Jalan Margonda Raya. Bersama kaum komuter, kaum pekerja Jakarta yang bermukim di Depok, mereka jelas pasar potensial bagi beragam produk barang dan jasa, termasuk jasa boga.

Mahasiswa UI bukan saja anak-anak Jakarta. Sebagian merupakan putra daerah dari Sabang sampai Merauke. Demikian pula para dosen dan karyawannya. Kebhinnekaan warga UI inilah yang mungkin ikut memengaruhi terciptanya keragaman tempat bersantap di sepanjang Jalan Margonda Raya.

Sayang, Pemerintah Kota (Pemkot) Depok terkesan lamban mendorong lebih jauh kawasan itu menjadi pusat wisata belanja dan kuliner yang membanggakan. Jalan Margonda Raya seperti cuma dipersembahkan bagi pengendara kendaraan bermotor karena sangat minimnya fasilitas bagi warga dan pelancong pejalan kaki.

Pada musim kemarau, trotoar Jalan Margonda Raya, yang sebagian besar dikuasai kaum pedagang kaki lima (PKL), panas dan penuh debu, sementara pada musim hujan di mana-mana jadi becek karena banyak bagian cuma berupa jalan tanah yang telanjang.

Bahkan, kaki lima di depan Balaikota Depok merupakan sarana berjalan kaki yang sangat berbahaya. Beberapa lubang yang menganga di trotoar di depan kantor wali kota yang berlokasi di ujung selatan Jalan Margonda Raya itu setiap saat bisa menjebloskan pejalan kaki ke dalam selokan yang persis ada di bawahnya.

Seyogianya, Pemkot Depok segera menertibkan PKL, sekaligus mencarikan mereka solusi untuk tetap bisa berusaha. Setelah itu, dibangun fasilitas pedestrian yang lebar, aman, dan nyaman karena banyaknya tanaman penghijauan.

Kalau hal ini dilakukan, bukan mustahil kawasan Margonda bisa tumbuh menjadi pusat wisata belanja dan kuliner andalan perekonomian Depok, seperti Orchard Road di Singapura. Kedai-kedai, kafe, dan restorannya tak lagi cuma dikunjungi para mahasiswa yang duitnya pas-pasan, tetapi juga oleh kaum pelancong Jakarta dan mancanegara yang berkocek tebal.

1 komentar:

Dito mengatakan...

saya pribadi sebenarnya dari dulu berharap banget trotoar-trotoar yang ada di sepanjang jalan Margonda itu dirombak habis-habisan menjadi trotoar yang sangat-sangat nyaman dan teduh untuk para pejalan kaki, sehingga tidak perlu lagi naik kendaraan umum kalau hanya untuk jarak dekat. tetapi seperti yang kita ketahui bersama, sampai saat ini tidak ada tindakan dari PemDa setempat. sayang sekali...

belum lagi sekarang-sekarang ini makin banyak genangan air di sepanjang jalan Margonda. jadi tidak hanya pejalan kaki yang merasa tidak nyaman, tapi pemilik kendaraan pun pastinya tidak nyaman pula dengan genangan-genangan air yang semakin dalam.